Kamis, 23 Oktober 2008

Cerpen DEMENTOR

DEMENTOR

Oleh: Luqman Abdul Chalik

Semenjak bekerja lagi di perusahaan baru, Sumringah berjanji tidak akan mengecewakan orang tuanya. Mencari pekerjaan di zaman krisis lebih sulit. Tiga bulan masa percobaan harus dilewati mulus tanpa izin, sakit, apalagi mangkir. “Kalau mau sakit ditunda dulu sampai bulan ke empat” kata kepala personalia yang mewawancarainya tanpa maksud bercanda.

Persoalan sakit tidak bisa diatur. Meskipun Sumringah berusaha menjaga diri, pada bulan kedua masa percobaan kepalanya agak pening. Dia memaksakan diri hadir. Sayangnya, wajahnya yang agak pucat tidak bisa disembunyikan. Sumringah terserang diare. Sumringah ngotot untuk menuntaskan kehadirannya bekerja satu hari penuh. Mandornya membolehkan dia istirahat sejenak di ruang mushala, tapi setelah itu Sumringah diharuskan pulang.

“Kamu bisa memaksakan diri, tapi teman-temanmu akan terganggu ka rena kamu bolak-balik terus ke jamban”,

“Tapi saya kuat kok, Bu…”

“Kamu pulang aja, kan masih ada satu kali toleransi, semasa percobaan.” Mandornya kemudian menjelaskan peraturan tambahan tidak tertulis yarng membolehkan karyawan masa percobaan absen dua kali dengan alasan yang bisa diterima.

“Tapi kalau bulan depan bolos lagi atau masuk setengah hari akan tetap dianggap mangkir. Kalau sudah begitu tidak ada toleransi lagi”, mandornya menutup pembicaraan.

Meskipun hanya buruh dengan status penjahit harian, Sumringah rajin membaca buku. Ia lebih beruntung daripada teman-temanya yang cuma lulusan SD atau SMP. Setelah lulus SMA ia mengikuti beberapa kursus, dari mulai kursus menjahit, computer, dan bahasa Inggris. Sumringah tidak merasa rugi meskipun ternyata keahlian yang dihargai perusahaan hanya bekal kursus menjahit. Sumringah rajin membaca dan membuat buku harian. Dia ingin pekerjaan menulis menjadi tambahan penghasilan seperti dalam kisah nyata beberapa TKW di Hongkong.

Beberapa buku terjemahan pun dilahapnya. Yang paling berkesan adalah buku Harry Potter. Buku best seller itu menarik karena karakter tokoh-tokohnya mirip orang-orang di sekelilingnya. Menurut buku itu, di dunia ini hanya ada dua jenis manusia motivator dan dementor. Tugas motivator membuat orang lain bersemangat, tugas dementor kebalikannya. Dalam kisah novel aslinya, sosok Dementor adalah monster yang pandai menyedot energi dari musuhnya hingga tak berdaya. Dalam kehidupan sehari-hari secara tidak sadar ucapan atau perilaku kita mirip tokoh Dementor. Menciutkan nyali, membuat pesimis orang lain. Ya, Bu mandor itu mirip Dementor daripada seorang motivator, sosok sakti yang suka menyedot semangat musuh-musuhnya sampai kandas. Tanpa semangat, sehebat apapun musuhnya akan mudah dikalahkan. Menurutnya, seharusnya seorang atasan adalah teman sekaligus motivator bawahannya.

***

Di perusahaan baru Sumringah supel seperti biasanya. Sumringah selalu bersemangat mengikuti setiap kegiatan kebersamaan di perusahaannya.Dia seolah ingin mendapat teman sebanyak-banyaknya. Mendapat teman seribu masih kurang, punya musuh satu terlalu banyak. Berulang kali dia katakan kata-kata mutiara itu kepada teman-teman. Sumringah bergabung dengan Klab Hiking. Sebulan sekali mereka menjalankan rutinitas hiking, berjalan kaki naik turun bukit. Meskipun dengan dana sendiri, mereka senang dengan kegiatan itu. Mengunjungi puncak-puncak gunung di kota B dan sekitarnya. Atau sekedar napak tilas tempat-tempat wisata yang kurang tepelihara. Melihat air terjun di ketinggian, merasakan lembutnya angin dari pohon-pohon Pinus. “Yang penting kebersamaan dan kekeluarga.” kata Pak Dhany, ketua klab ini berkali-kali.

Bulan lalu ia ikut mendaki ke Situ Ciharus, sebuah danau alam yang berada di ketinggian. Dua jam perjalanan kaki dari kaki gunung menuju danau di puncaknya benar-benar berkesan. Dalam perjalanan pulang sambil menuruni bukit dia berjanji untuk ikut lagi acara serupa. Sehat, banyak teman baru didapat. Yang selalu tak dia lupakan adalah berfoto. Uang pesanggon dari tempat bekerja dulu ditambah tabungannya cukup membeli sebuah kamera digital paling murah yang dia lihat di brosur. Kami penganut aliran narsisisme - pengagum diri sendiri. Sumringah bangga.

Sumringah tidak menyangka kalau acara hiking ke tiga yang dia ikuti akan berbeda dengan sebelumnya. Seandainya saja,… ah, Sumringah tidak boleh berandai-andai. Begini ceritanya. Hiking kali ini tidak seberat sebelumnya. Hanya berkunjung ke sebuah tempat wisata alam lima belas kilometer dari tempatnya bekerja. Tepatnya sebuah taman hutan lindung. Sebelum .perjalanan dimulai, para haiker, begitulah orang-orang memanggilnya, membeli makanan di sebuah warung nasi untuk makan siang. Sarapan pagi dilakukan di rumah. Sampai di sebuah pelataraan paving block yang dikelilingi pohon pinus mereka mlepas lelah. Nasi bungkus bekal dari bawah dibukanya. Sumringah merasakan telur balado dan nasinya sudah agak basi. Tapi rasa lapar karena perjalanan satu setengah jam memaksanya melahap nasi bungkus itu. Lima belas menit kemudian, temannya bilang pusing. Sumringah merasakan hal yang sama bahkan perutnya mulai terasa mual . Singkat cerita, Sumringah dan lima belas temannya mencicipi ruangan UGD (Unit Gawat Darurat) di sebuah rumah sakit terdekat dari tempat wisatan alam tersebut. Seandainya warung padang itu tidak menyajikan nasi basi,…….

Meskipun masih agak lemas, keesokan harinya beberapa teman buruh beserta dirinya memaksakan bekerja. Berita keracunan di acara hiking menyebar cepat.

“Kalian tidak akan bekerja maksimal dengan kondisi badan kurang sehat. Sebaiknya istrirahat di rumah” kata mandornya. Sebuah nasihat yang simpati padahal menjurumuskan, itulah keahlian dementor. Sumringah menemui mandornya dan memohon dirinya dikecualikan. Tapi mandornya tetap pada keputusan semula, Sumringah harus pulang.

Sumringah mencoba memahami posisi mandornya. Meskipun jabatan mandor adalah kemegahan yang harus dipertahankan, tapi jangan sok berkuasa begitu. Sama-sama cari makan, kok masih sikut-sikutan. Sambil menahan emosi, dia berusaha menjelaskan posisinya yang di ujung tanduk. Mandornya hanya diam.

Ciri-ciri dementor mudah dikenali. Mereka datang bagai orang bijak menasihati. “Sudahlah, tak ada gunanya protes, nanti hasilnya sama juga”.

“Wanita gak usah sekolah tinggi-tinggi, nantinya ke dapur juga”.

“Ngapain lu bisnis begituan, kagak bakal laku!”

Intinya mereka menciutkan nyali orang agar berhenti berbuat.

Sumringah bingung, dia harus mengadu kepada siapa lagi. Dari kejauhan dilihatnya Pak Dhani menuju ke arahnya. Pak Dhany punya jabatan lumayan di perusahaan sehingga suaranya masih didengar pihak pemegang keputusan.. Sumringah menceriterakan masalahnya kepada Pak Dhany. Lagi pula, sebagai ketua Klab Hiking dia merasa bertanggung jawab atas kejadian keracunan makanan yang berujung pada kat pemecatan ini. Mudah-mudahan Pak Dhany bisa mengangkat masalah ini ke tingkat managemen. Sumgringah berharap Pak Dhany bisa menyampakain unek-uneknya.

Hari itu juga Pak Dhany bertindak. Dia menanyakan kepada pihak manajemen, mengapa seorang mandor bisa memecat langsung anak buahnya tanpa sepengetahuan pihak personalia. Pertanyaaan selanjutnya, mengapa mandor itu menyuruh anak buahnya pulang setengah hari dengan alasan yang mengada-ada. Sumringah dan beberapa temannya sudah sehat, tidak harus pulang. Sumringah dianggap gagal melewati masa percobaan. Seharusnya seorang atasan melindungi anak buahnya yang baik agar berhasil. Ini kebalikannya, seorang atasan bahkan bertindak seolah-olah menjebak anak buahnya.

Cerita keracunan makanan ini berbuntut panjang. Urusannya bukan sekedar si empunya warung harus mengganti seluruh biaya pengobatan, tapi menyangkut diri Sumringah dan terkuaknya ketelodoran manajemen di kantornya.

Dalam buku hariannya, Sumringah mencatat kejadian pemecatan karyawan yang tidak disiplin dan korupsi sebulan yang lalu. Rincian kasusnya dia tidak tahu persis, tapi kira-kira begini: Gaji karyawan harian dibagikan oleh seorang Satpam wanita (ini juga mengherankan). Dia memegang daftar absensi harian karyawan. Absensi itu dicetak dalam selembar kartu berukuran 10 x 15 cm. Setiap masuk dan keluar pabrik, karyawan wajib memasukkan kartunya ke sebuah mesin absensi. Setelah berbunyi “Klok”, tertera jam waktu masuk dan waktu keluar. Kartu-kartu ini kemudian dikumpulkan oleh satpam wanita. Ada beberapa kejadian, seorang karyawan dipecat oleh atasannya langsung dan tidak dilaporkan kepada pihak personalia padahal kartu absensi ini masih dipegang satpam tersebut.

Kesimpulannya, meskipun karyawan itu sudah tidak lagi bekerja di perusahaan, jumlah kartu absensi tidak berkurang. Bagian personalia hanya menggaji karyawan berdasarkan jumlah kartu tersebut. Alhasil, satpam wanita tersebut menikmati “gaji buta” beberapa karyawan yang kenyataannya sudah tidak ada- tapi di atas kertas masih ada - selama tiga bulan terakhir. Perusahaan dirugikan. Buntut dari kasus ini, satpam wanita dan beberapa seorang mandor dipecat. Para pemegang keputusan perusahaan dibukakan matanya tentang lemahnya system dan pengawasan penggajian. Sebagai tindak lanjut, perusahann memanggil manager personalia dan produksi untuk membuat system dan peraturan baru perekrutan dan pemecatan karyawan.

***

Selasa keesokan harinya Sumringah merasa kesehatannya sudah pulih total. Pada hari itu dengan bersemangat Sumringah kembali masuk kerja. Sayang, niatnya terhenti di pintu gerbang. Sumringah dilarang masuk ke ruang produksi tempatnya bekerja karena bagian kemanan mendapat tembusan dari mandor bahwa Sumringah sudah dipecat. Sumringah dianggap mangkir dua hari dalam tiga bulan masa percobaan.

“Sudahlah Sum, kamu masih muda dan punya keahlian. Orang sepertimu akan mudah mendapatkan pekerjaan baru. Lagi pula, kalau kamu mau ngotot, kamu mau mengadu kepada siapa?” Sumringah merasa berhadapan Dementor yang lain yang berwujud petugas satpam. .

“Bukan begitu Pak, saya merasa dijebak. Saya pikir dengan disuruh pulang, Bu Mandor kelihatannya menjamin saya tidak akan dikeluarkan, kenyataannya….” Sumringah tidak bisa melanjutkan argumentasinya. Kepalanya mulai pening. Dilihatnya sosok Dementor berlalu lalang didepannya. Mereka datang ke perusahaan itu berwajah dan berpangkat macam-macam. Wujudnya bisa teman sekamar, saudaranya dari desa, tulisan-tulisan di koran, televisi, atau suara-suara bising yang menyedot semangat manusia sampai ke dasar. Dementor itu sekarang berlalu lalang di depannya dengan wajah monster seperti bayangan di bukunya yang dia baca. Dementor merasuk, melakukan aksinya mulai dari tingkat mandor, kepala bagian, manager, sampai direktur.

Dalam kilatan silau cahaya pagi yang menerpa matanya, dilihatnya Pak Dhany, pahlawannya dan motivatornya itu menghampirinya. Anehnya, semakin dekat badan Pak Dhany yang agak subur itu mulai menciut perlahan-lahan. Tiba-tiba Pak Dhany berubah menjadi boneka kecil yang lucu. Rupanya para Dementor itu bekerja sama mengalahkan pahlawan andalannya yang akhirnya kalah juga. Sumringah mengakui para dementor itu memang itu amat sakti. Gubrak!” Sumringah pingsan.

***

Cilampeni, Oktober 2008